
Battikpost, Lampung Barat – Pagi masih malas membuka mata, tapi aroma kopi robusta Liwa dari dapur rumah panggung di Pekon Way Mengaku, Lampung Barat, sudah lebih dulu menyapa. Asap tipis mengepul dari seduhan kopi yang baru ditumbuk manual, disiram air panas dari tungku kayu bakar. Hangat, sederhana, dan penuh cerita.
“Kalau bukan kami yang jaga, siapa lagi?”
ujar Pak Sabar, petani kopi Liwa berusia 58 tahun, sambil menuang kopi ke cangkir seng kusam yang sudah menemaninya puluhan musim panen. Semangatnya soal kopi? Masih kayak anak muda yang baru jatuh cinta sama dunia perkopian.
Liwa, Lampung Barat mungkin belum sering masuk headline sebagai daerah penghasil kopi. Namanya belum setenar Gayo atau Toraja. Tapi siapa sangka, biji kopi robusta Liwa dari balik sunyi lereng Bukit Barisan ini sudah melancong jauh ke negeri orang—Belanda, Jepang, dan beberapa kafe kecil di ibu kota yang peduli pada rasa dan asal usul.
“Tantangannya banyak. Dari hama, cuaca yang makin nggak bisa ditebak, sampai harga pupuk yang naik terus. Tapi ya, kopi ini udah jadi hidup kami. Mau ditinggal, rasanya kayak ninggalin diri sendiri,”
lanjut Pak Sabar, matanya menatap ke kebun di lereng bukit.
Di Liwa, kopi bukan sekadar minuman, tapi budaya. Setiap panen, ada tradisi ngopi bareng di balai pekon. Tak ada undangan resmi, cukup kabar dari mulut ke mulut. Orang datang, bawa cerita, bawa tawa, dan kadang bawa harapan: tentang Liwa yang suatu hari bakal dikenal dunia karena kopinya.
Baca Juga Terbaru
Kopi Liwa memang pahit, tapi dari tangan para petani Lampung Barat, kita belajar bahwa dalam setiap tegukan ada rasa sabar, kerja keras, dan cinta pada tanah sendiri. ( Een )
