
Battikpost, Bandar Lampung (09/03/25) – Belakangan ini, perdebatan mengenai status hukum pengemudi transportasi online kembali memanas. Isu pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pengemudi ojek online (ojol) dan taksi online (taxol) menjadi sorotan setelah aksi unjuk rasa yang digelar oleh Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) bersama organisasi lainnya di Jakarta pada 17 Februari 2025.
Merespons tuntutan tersebut, Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer, menyatakan bahwa pemerintah akan memaksa aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim, dan Shopee untuk memberikan THR kepada para mitra pengemudi. Pernyataan ini didasarkan pada aturan yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, serta Permenaker No. 6 Tahun 2016 dan PP No. 14 Tahun 2024
Namun, penerapan aturan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab, pengemudi transportasi online selama ini berstatus mitra, bukan pekerja. Aplikator berargumen bahwa hubungan mereka dengan pengemudi adalah kemitraan berbasis perjanjian elektronik, yang secara hukum tidak dapat disamakan dengan hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan.
BACA JUGA :Maxim Beberkan Kriteria Penerima THR Ojol, Berbasis Kinerja
Dalam sistem ketenagakerjaan, terdapat tiga elemen utama yang menentukan hubungan kerja:
Baca Juga Berita Populer
- Pemberi kerja
- Penerima kerja
- Upah sebagai imbalan kerja
Dalam bisnis transportasi online, siapa yang sebenarnya menjadi pemberi kerja? Jika mengikuti logika aplikator, pengguna layananlah yang membayar pengemudi, sementara aplikator hanya bertindak sebagai perantara dan menarik komisi dari transaksi. Konsep ini sejalan dengan Permenhub 118 Tahun 2018 (untuk taxol) dan Permenhub 12 Tahun 2019 (untuk ojol), yang menegaskan bahwa pengemudi adalah mitra independen, bukan karyawan.
Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Dalam praktiknya, aplikator memiliki kendali penuh atas tarif, insentif, sistem kerja, hingga sanksi terhadap pengemudi. Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah kemitraan ini benar-benar setara, atau hanya bentuk baru hubungan kerja tanpa perlindungan hukum bagi pengemudi?
BACA JUGA : Maxim Klarifikasi Kebijakan THR bagi Mitra Pengemudi
Konsep kemitraan dalam transportasi online saat ini masih jauh dari prinsip keadilan dan keseimbangan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM hanya mengatur kemitraan antara badan usaha dengan badan usaha, bukan antara korporasi raksasa dengan individu. Hal ini membuat posisi pengemudi lemah secara hukum dan rentan terhadap eksploitasi sistem.
Sebagai solusi, pemerintah harus segera menyusun regulasi baru yang:
- Memperjelas status hukum pengemudi transportasi online
- Melindungi hak-hak pengemudi, termasuk jaminan sosial dan kesejahteraan
- Menyeimbangkan hubungan antara aplikator dan pengemudi agar lebih adil.
Polemik THR bagi pengemudi transportasi online hanyalah puncak gunung es dari ketidakjelasan regulasi di sektor ini. Tanpa aturan yang jelas dan berpihak pada kesejahteraan pengemudi, janji THR dari pemerintah hanya akan menjadi angin lalu.
Yang dibutuhkan bukan sekadar janji politik, tetapi regulasi yang benar-benar melindungi semua pihak, terutama pengemudi yang menjadi tulang punggung industri transportasi online. Jika tidak segera diatur, ketimpangan ini akan terus berlanjut, mengancam keberlanjutan industri dan kesejahteraan para pengemudi di masa depan.
Indonesia harus segera berbenah. Bukan hanya demi para pengemudi, tetapi juga demi ekosistem transportasi online yang lebih sehat dan berkeadilan.(Redaksi)
sumber : Ketua Umum Organisasi Gaspool Lampung yang juga Tim Penyusun Permenhub 12 tahun 2019 (Miftahul Huda)
