
Oleh : Timbul Priyadi
Pendahuluan: Amanah Pemimpin dan Keadilan yang Terkoyak
Keadilan terancam ketika amanah pemimpin dikhianati. Fenomena ini tampak jelas dalam kehidupan bangsa saat kekuasaan dijalankan tanpa nurani. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah justru berubah menjadi alat arogansi. Kebijakan publik dibuat tanpa keberpihakan kepada rakyat, aparat kehilangan fungsi pengayoman, dan wakil rakyat menjauh dari masyarakat yang diwakilinya. Akibatnya, hukum kehilangan wibawa dan rakyat kehilangan kepercayaan.
Keadilan, yang mestinya menjadi dasar tegaknya negara, kini terkoyak. Suara rakyat ditekan, aspirasi diabaikan, dan kritik dibungkam. Ironisnya, pihak yang seharusnya menjaga amanah justru memperjualbelikan kepercayaan itu untuk kepentingan diri dan kelompok.
Kekuasaan yang Berubah Jadi Pengkhianatan
Syariat Islam memberikan pedoman yang jelas tentang makna kepemimpinan. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…”
Namun, kenyataan yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Amanah diselewengkan, hukum diperdagangkan, dan kebijakan publik lebih sering menguntungkan kelompok oligarki daripada rakyat kecil. Aparat yang mestinya melindungi rakyat berubah menjadi wajah represi negara. Kekuasaan beralih menjadi ancaman, bukan lagi pelindung.
Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW telah mengingatkan:
“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Jika pemimpin lebih sibuk menjaga kepentingan elit daripada mendengar jeritan rakyat, hal itu dapat dipandang sebagai pengkhianatan terhadap sabda Nabi dan perintah Allah.
Diam di Hadapan Kezaliman: Dosa Kolektif
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ad-Da’ wa Ad-Dawā’ mengisahkan sabda Nabi SAW tentang suatu kaum yang dibinasakan Allah meski ada orang-orang saleh di dalamnya. Ketika malaikat bertanya mengapa orang saleh ikut binasa, Allah menjawab:
“Karena mereka tidak marah ketika Aku dimaksiati dan tidak berusaha mencegah kemungkaran.”
Kisah ini menjadi peringatan keras. Banyak kezaliman terjadi di depan mata, tetapi justru dimaklumi. Aparat menyalahgunakan kewenangan, wakil rakyat menjual suara, dan pejabat menutup mata terhadap penderitaan publik. Namun, masyarakat sering memilih diam atau sekadar mengeluh tanpa upaya. Diam terhadap kezaliman berarti memberi persetujuan, dan persetujuan itu dapat mendatangkan azab, bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi yang membiarkannya.
Teladan Kepemimpinan yang Dilupakan
Sejarah Islam menghadirkan teladan kepemimpinan melalui dua Umar yang sangat masyhur.
- Umar bin Khattab
Khalifah kedua ini dikenal tidak segan turun langsung memanggul gandum untuk memastikan rakyatnya tidak kelaparan. Bagi Umar bin Khattab, tanggung jawab pemimpin bukan sekadar retorika, melainkan aksi nyata.
- Umar bin Abdul Aziz
Pemimpin yang dijuluki khalifah yang adil ini berani membersihkan harta negara dari hasil korupsi dan menghapus pajak yang zalim. Di bawah kepemimpinannya, rakyat hidup makmur sampai sulit menemukan orang miskin yang layak menerima zakat.
Perbandingan dengan kondisi hari ini sangat kontras. Rakyat terus dipajaki tanpa ampun, sementara kebocoran anggaran dan praktik korupsi masih terjadi. Para pejabat berbicara tentang kesejahteraan, tetapi kehidupan mereka tetap mewah di atas penderitaan rakyat.
Jalan Perbaikan: Tegakkan Amanah, Lawan Kezaliman
Perubahan tidak akan datang jika semua pihak tetap memilih diam. Ada beberapa langkah yang perlu ditegakkan:
1. Pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan, bukan kepentingan kelompok elit. Amanah adalah titipan Allah yang akan dipertanggungjawabkan.
2. DPR dan wakil rakyat harus menyadari bahwa kursi mereka adalah hasil suara rakyat. Arogansi dan sikap anti-kritik hanya memperlebar jarak antara penguasa dan masyarakat.
3. Aparat negara harus berhenti menjadi alat represi. Kekerasan terhadap rakyat hanya mempercepat keruntuhan wibawa hukum.
4. Rakyat tidak boleh lagi memilih diam. Kritik adalah hak konstitusional sekaligus kewajiban moral. Namun, perlawanan harus dilakukan secara bermartabat, bukan dengan kezaliman baru.
Penutup: Keadilan atau Kehancuran
Negara tanpa keadilan hanyalah panggung sandiwara. Hukum diperjualbelikan, sementara rakyat hanya menjadi penonton penderitaan. Sejarah mencatat, kezaliman adalah awal kehancuran sebuah bangsa.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 32:
Baca Juga Terbaru
“Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.”
Satu nyawa rakyat yang hilang akibat arogansi kekuasaan sudah cukup mengguncang legitimasi pemerintahan. Apalagi jika korban terus bertambah, sementara penguasa menutup telinga.
Hari ini bangsa diuji: apakah membiarkan keadilan hancur atau menagih kembali amanah yang telah dikhianati. Pilihannya tegas—tegakkan keadilan atau bersiap menghadapi kehancuran.
Baca Juga Berita Populer
Referensi
- Al-Qur’an: Surah An-Nisa ayat 58, Surah Al-Maidah ayat 32, Surah Hud ayat 11
- Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ad-Da’ wa Ad-Dawā’
- Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah
- Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah
- Imam As-Suyuti, Tarikh Al-Khulafa
- Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Umar bin Abdul Aziz
