
Oleh : Prin Orba / Orba Battik
Pimpinan Redaksi Battikpost.site
Ketimpangan Hukum di Atas Tanah Sendiri
Tanah milik rakyat ternyata tak benar-benar dimiliki sepenuhnya oleh rakyat. Di sebuah ladang kecil milik petani, tumbuh tanaman ganja liar. Polisi datang, lalu pemilik lahan ditahan. Tuduhannya jelas: kepemilikan narkotika.
“Karena tumbuh di tanahmu, itu tanggung jawabmu!” kata aparat.
Namun di lahan yang sama, jika suatu hari ditemukan cadangan minyak atau gas bumi—keadaan berubah drastis. Negara mengambil alih, mengebor, mengekstraksi, dan petani hanya bisa menonton.
Tanpa ganti rugi sepadan, tanpa kuasa untuk menolak.
Kekayaan Alam, Tapi Milik Siapa?
Hukum di negeri ini seolah bekerja seperti cermin dua arah. Ketika menyangkut hal yang merugikan, rakyat kecil harus menanggung beban. Namun ketika bicara kekayaan, negara mengambil alih nama dan haknya.
Ganja di tanahmu = Tanggung jawabmu
Minyak di tanahmu = Milik negara
Keadilan menjadi relatif. Semua atas nama undang-undang, tapi rakyat hanya jadi penonton.
Baca Juga Terbaru
Warisan Ketimpangan dari Masa ke Masa
Warisan logika timpang ini bukan hal baru. Sejak era Orde Baru hingga kini, paradigma “negara sebagai pemilik tunggal atas sumber daya alam” terus bertahan. Ironisnya, saat rakyat menggugat keadilan atas tanah, mereka sering dicap pengganggu pembangunan.
Tanah adalah milik rakyat, tapi hukum pertanahan dan pengelolaan kekayaan alam masih dikuasai segelintir elit dan negara.
Tanah ini memang milikmu, tapi jangan pernah yakin sepenuhnya bahwa kau punya hak penuh atasnya.
