
JAKARTA, BattikPost.Site — Presiden Prabowo Subianto resmi menunjuk Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam). Penunjukan ini menuai sorotan, terutama dari kalangan pengamat yang menilai keputusan tersebut sarat dengan pertimbangan senioritas militer dan hubungan personal di masa lalu.
Peneliti dari Indonesia Strategic & Defence Studies (ISDS), Edna Caroline, mengatakan bahwa langkah Prabowo menunjukkan kuatnya tradisi senioritas dalam lingkup militer yang ikut mewarnai dinamika politik sipil.
“Posisi Menko Polkam menuntut sosok yang senior, apalagi ia akan mengkoordinasikan TNI, Polri, dan Kementerian Pertahanan. Dengan pemberian jabatan Jenderal Kehormatan, Djamari memperoleh otoritas penuh sebagai Menko Polkam,” kata Edna, Rabu (17/9).
Senioritas Militer Jadi Pertimbangan Utama
Menurut Edna, penunjukan Djamari memperlihatkan bahwa Prabowo masih menempatkan aspek hierarki dan senioritas sebagai faktor penting. Hal ini sejalan dengan tradisi militer, di mana posisi strategis biasanya dipegang oleh perwira dengan pengalaman panjang.
Djamari sendiri pernah menjadi pengasuh taruna Akabri angkatan 1974, satu angkatan dengan Prabowo setelah ia tinggal kelas dari angkatan 1973. Kedekatan personal itu semakin memperkuat alasan penunjukan.
Rekonsiliasi Masa Lalu dengan Prabowo
Yang menarik, Edna menyinggung fakta sejarah bahwa Djamari merupakan Sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang pada 1998 merekomendasikan pemecatan Prabowo. Meski begitu, kini keduanya justru bekerja bersama dalam kabinet.
“Ini menunjukkan bahwa Prabowo tidak menjadikan masa lalu sebagai penghalang. Sebaliknya, ia melakukan rekonsiliasi personal yang kini terwujud dalam penunjukan Djamari,” ungkap Edna.
Setelah reformasi, Djamari bahkan bergabung dengan Partai Gerindra, semakin menegaskan hubungan politik dan personal yang kembali terjalin.
Dinamika Polkam di Lingkaran Militer 70-an
Edna juga memberi catatan kritis terhadap komposisi lingkaran Polkam saat ini. Selain Djamari, terdapat nama Sjafrie Sjamsoeddin dan Prabowo sendiri yang berasal dari angkatan 70-an di Akabri.
“Dengan latar belakang yang sama, dikhawatirkan proses pengambilan keputusan hanya didominasi satu perspektif. Kehadiran figur seperti Budi Gunawan sebelumnya, yang berasal dari Polri, sempat memberikan warna berbeda,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan dan diskusi agar kebijakan Polkam tidak hanya bersandar pada pola pikir satu generasi dan latar belakang militer semata.
Penunjukan Djamari: Antara Loyalitas, Senioritas, dan Politik
Langkah Prabowo menunjuk Djamari dapat dipandang sebagai kombinasi dari faktor loyalitas, senioritas, serta kebutuhan menjaga stabilitas politik. Djamari yang kini menyandang gelar Jenderal Kehormatan dinilai mampu menjadi figur koordinatif di tengah kompleksitas hubungan antara TNI, Polri, dan kementerian terkait.
Edna menilai, ke depan tantangan besar Menko Polkam adalah memastikan koordinasi yang efektif, terbuka, dan mampu merangkul berbagai perspektif, bukan sekadar dari kalangan militer.
Kesimpulan
Penunjukan Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam memperlihatkan dua hal penting: pertama, kuatnya tradisi senioritas militer dalam struktur kekuasaan di Indonesia; kedua, adanya rekonsiliasi politik antara Djamari dan Prabowo setelah masa lalu yang penuh dinamika.
Baca Juga Terbaru
Meski langkah ini dinilai strategis, para pengamat tetap mengingatkan perlunya keterbukaan dan pluralitas pandangan agar kebijakan Polkam tidak berjalan di jalur tunggal militeristik semata. (Karim).
