
Lampung Selatan, Battikpost.site — Warga Dusun Giriharjo, Merbau Mataram, Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan, semakin resah akibat aktivitas pengolahan kopra di tengah kawasan padat penduduk.
Usaha tersebut menimbulkan asap pekat, bau menyengat, serta kebisingan hingga tengah malam. Oleh karena itu, warga meminta agar kegiatan itu segera dipindahkan dari lingkungan perumahan.
“Warga pada ngeluh karena itu dikerjakan di rumah, sementara tetangganya banyak dan bahkan ada yang punya bayi,” kata seorang warga RT 1 yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (1/11).
Asap dan Limbah Ganggu Kenyamanan Warga
Asap hasil pembakaran kelapa kering terus mengepul dan menyelimuti udara kampung. Akibatnya, warga sulit bernapas dan khawatir terhadap kesehatan anak-anak mereka. Selain itu, sisa air kelapa dari proses produksi juga mencemari selokan.
“Bekas air kelapa dibiarkan mengalir gitu aja sampai ke jalan. Di selokan airnya sampai berwarna putih. Kalau siang panas begini, baunya menyengat seperti tai kucing,” keluh warga lain.
Situasi tersebut menimbulkan ketidaknyamanan setiap hari. Warga merasa tidak dapat menikmati udara bersih di sekitar rumah. Selain itu, bau menyengat juga mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama bagi keluarga yang memiliki anak kecil.
Oleh karena itu, sebagian besar warga berharap agar pemerintah segera turun tangan dan memberikan solusi tegas terhadap pencemaran tersebut. Mereka menilai kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama tanpa ada tindakan nyata dari pihak berwenang.
Bising Hingga Tengah Malam
Selain asap dan bau menyengat, kebisingan dari aktivitas pemecahan kelapa juga membuat warga tidak bisa beristirahat dengan tenang. Suara keras terdengar sejak pagi hingga tengah malam.
“Kalau pagi itu kerjanya dari pagi sampai sore, dan dari sore sampai jam 12 bahkan terkadang sampai jam 1 malam. Suara mecahin kelapa itu berisik,” ujar seorang warga yang juga enggan disebut namanya.
Selain kebisingan, warga juga mengkhawatirkan keberadaan pekerja yang masih di bawah umur.
“Belum lagi pekerjanya ada yang masih usia sekolah,” ujarnya.
Kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan mendalam. Warga menilai aktivitas pengolahan kopra seharusnya tidak dilakukan di tengah permukiman karena mengganggu ketertiban dan kesehatan lingkungan.
Oleh karena itu, mereka menduga kegiatan itu tidak mengantongi izin resmi dari pemerintah desa maupun instansi lingkungan hidup.
“Sepertinya aktivitas itu tidak punya izin, gak mungkin kalau Pak Kades memberikan izin karena tempatnya padat penduduk,” kata warga lainnya.
Harapan Warga: Usaha Kopra Dipindahkan dari Kampung
Warga dengan tegas meminta agar usaha pengolahan kopra tersebut segera dipindahkan ke lokasi yang jauh dari rumah penduduk.
“Kami gak melarang orang cari rezeki, tapi jangan di tengah kampung. Asapnya bikin sesak, suaranya bising, anak-anak dan bayi jadi korban. Kalau bisa pindahkan ke tempat yang jauh dari rumah warga,” ujar seorang ibu rumah tangga.
Selain itu, masyarakat berharap agar pemerintah desa dan dinas terkait turun langsung meninjau lokasi serta memberikan pembinaan bagi pelaku usaha. Dengan demikian, pelaku usaha kecil tetap dapat mencari nafkah tanpa mengorbankan kesehatan lingkungan.
“Kami cuma ingin udara bersih, lingkungan sehat, dan pemerintah hadir ngasih solusi, bukan cuma diam,” tegas warga.
Warga juga berpendapat bahwa pemindahan lokasi menjadi solusi paling realistis. Dengan cara itu, pelaku usaha bisa tetap bekerja, sementara masyarakat tidak lagi terganggu oleh asap, bau, maupun kebisingan.
Potensi Pelanggaran Lingkungan dan Ketenagakerjaan
Selain mengganggu kenyamanan, aktivitas pembakaran dan pembuangan limbah tanpa izin lingkungan juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pasal 69 ayat (1) huruf e menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
Jika pelaku melanggar ketentuan tersebut, maka ancaman hukumannya cukup berat. Pelanggar dapat dipidana penjara selama 3–10 tahun dan dikenai denda Rp3–10 miliar sebagaimana tercantum dalam Pasal 98 ayat (1) undang-undang yang sama.
Di sisi lain, keberadaan pekerja usia sekolah juga berpotensi menyalahi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan tersebut melarang pengusaha memperkerjakan anak di bawah usia 18 tahun, kecuali dalam pekerjaan ringan dengan pengawasan ketat. Jika melanggar, ancaman hukuman mencapai 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp500 juta.
Dengan demikian, pemerintah daerah perlu segera meninjau dan memastikan apakah usaha tersebut memenuhi syarat izin lingkungan dan ketenagakerjaan. Jika tidak, maka aparat wajib menegakkan hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Negara Wajib Hadir Melindungi Warga
Kasus di Giriharjo mencerminkan lemahnya pengawasan lingkungan di tingkat desa. Negara tidak boleh membiarkan pelanggaran yang merugikan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah harus hadir untuk melindungi hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Baca Juga Terbaru
Hak tersebut tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Baca Juga Berita Populer
Karena itu, pemerintah desa hingga Dinas Lingkungan Hidup Lampung Selatan harus segera turun ke lapangan. Pemerintah perlu memverifikasi izin usaha, meninjau dampak lingkungan, serta memberikan pembinaan kepada pelaku usaha kecil agar beroperasi secara legal dan ramah lingkungan.
Selain itu, aparat juga perlu memastikan tidak ada pekerja anak di lokasi tersebut. Dengan langkah tegas dan pembinaan yang tepat, keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan dapat terjaga.
Pemerintah Diminta Bertindak Cepat
Masyarakat Giriharjo menantikan langkah konkret dari pemerintah. Mereka berharap pemerintah desa, kecamatan, dan dinas terkait segera mengambil tindakan nyata. Tujuannya agar udara kembali bersih, lingkungan lebih sehat, dan suasana kampung menjadi nyaman.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pemilik usaha maupun pihak pemerintah desa. Kepala Desa Merbau Mataram, Sulaiman, tidak menjawab panggilan telepon dan pesan WhatsApp dari wartawan. (Rls/Tim).
