Selasa, Mei 6News
Shadow

Masyarakat Adat Lampung Terabaikan, Kuasa Hukum Desak Cabut Izin Konsesi PT. Inhutani V

Battikpost, BANDAR LAMPUNG – Kuasa Hukum Masyarakat Adat Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir (MBPPI) Negara Batin, Way Kanan, Provinsi Lampung, Gindha Ansori Wayka, mendesak pemerintah mencabut izin konsesi PT. Inhutani V atas pengelolaan Kawasan Hutan Register. Ia menilai pengelolaan yang berlangsung sejak 1996 itu tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat, yang secara historis memiliki tanah adat tersebut.

Gindha menjelaskan bahwa sejak era kolonial, tepatnya tahun 1940, masyarakat adat MBPPI telah menyerahkan tanah adat mereka kepada pemerintah kolonial Belanda untuk dijadikan hutan larangan atau hutan lindung. Namun, kini kawasan itu berubah menjadi hutan produksi dengan skema Hutan Tanaman Industri (HTI).

Izin ini diberikan kepada PT. Inhutani V melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 398/Kpts-II/1996 untuk mengelola ±55.157 hektare lahan di dua kawasan hutan register, yakni Register 44 Sungai Muara Dua dan Register 46 Way Hanakau. Sayangnya, selama hampir 30 tahun, masyarakat adat MBPPI tidak merasakan manfaat apa pun,” tegas Gindha dalam pernyataan tertulis yang redaksi terima pada Minggu (4/5/2025).

Ia menilai PT. Inhutani V bermasalah secara sosial dan hukum karena mengabaikan surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 427/Menhut-VIII/2001, yang memerintahkan perusahaan untuk mengembalikan tanah ulayat masyarakat MBPPI serta membangun kemitraan yang adil dan saling menguntungkan.

Surat Menteri itu secara jelas menyatakan bahwa kemitraan harus melibatkan masyarakat adat MBPPI, bukan perambah atau pendatang yang kini justru menguasai dua kawasan register tersebut,” kata Gindha, yang juga dikenal sebagai advokat publik dan dosen di perguruan tinggi di Bandar Lampung.

BACA JUGA: 

Menurutnya, negara juga ikut dirugikan karena PT. Inhutani V tidak mengelola kawasan secara maksimal. Banyak perambah menduduki kawasan, sementara perusahaan hanya menerima kompensasi sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hektare per tahun dari penggarap lahan.

Dengan luas lahan mencapai 55.175 hektare, nilai itu sangat kecil dan tidak sebanding. Pemerintah harus mengkaji ulang. Jika terbukti tidak bermanfaat, maka pemerintah patut mencabut izin konsesi tersebut,” lanjut Gindha, yang dikenal sebagai pengkritik tajam isu-isu agraria di Lampung.

Menanggapi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan oleh Presiden Prabowo Subianto, Gindha menilai peraturan ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan, meski pemerintah belum sepenuhnya melibatkan masyarakat adat.

Pemerintah bisa menggunakan Perpres ini untuk menertibkan pihak-pihak yang mengelola kawasan hutan tanpa mengakui hak asal-usul. Pemerintah harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik awal dalam proses negosiasi dan penertiban terhadap perambah,” pungkasnya. (Sandi)